Surabaya Dikepung Mal

Galaxi Mal 2 (Dok. tatamulia.co.id)
Galaxi Mal 2, salah satu mal baru di Surabaya Timur (Dok. tatamulia.co.id)

Bak cendawan di musim hujan. Pepatah ini tepat untuk menggambarkan kondisi mal di Surabaya sekarang ini. Fenomena ini ibarat dua sisi mata uang. Di satu sisi, ini menunjukkan membaiknya investasi namun di sisi lain kekhawatiran pun merebak. Apalagi kalau bukan timpangnya daya serap pasar dengan banyaknya mal baru. Ini akan menjadi gelembung sabun yang bakal meletus. Rendahnya okupansi bisa memicu persaingan tidak sehat. Bila tidak diantisipasi, bayangan munculnya mal mangkrak tak terelakkan.

Oleh : M Subchan S – Purnomo Siswanto – Ary Nugraheni

Sesekali cobalah berkeliling Surabaya. Lihatlah pertumbuhan mal yang tidak cuma modern tapi juga gemerlapan. Lihat saja superblok City of Tomorrow (Cito) yang tengah dibangun di kawasan bergengsi, Jalan Ahmad Yani, utara bundaran Waru. Cito menghimpun hotel bintang lima, kantor, mal, apartemen, dan lainnya di atas lahan seluas 3 hektar.

Berjarak sekitar 7 Km, Royal Plasa, mal yang baru beberapa bulan diresmikan terlihat megah. Tengok juga pembangunan mal Surabaya Town Square di Jalan Hayam Wuruk. Bergeser ke tengah kota, Grand City Mall (GCM) di kawasan Jalan Gubeng tengah dikerjakan. GCM akan meliputi bangunan mal dua lantai, hotel bintang empat 21 lantai, dan ruang pertemuan dua lantai. Pembangunannya memakan waktu empat tahun.

Berikutnya, di kawasan Jalan Blauran, The Empire Palace tengah diselesaikan. Mal ini mengklaim sebagai pusat perdagangan emas dan permata di Indonesia. Sekitar 300 meter dari mal ini, berdiri megah BG Junction. Mal yang dibangun di bekas lahan Toko Wijaya ini juga baru saja beroperasi. Berjalanlah lagi sejauh 1 Km ke Jalan Bubutan, terlihat pagar seng menutupi bekas bangunan RS Mardi Santosa. Di sini akan dibangun Buthan Mall yang memilih menjadi mal mebelair, bahan bangunan, dan besi. Hingga kini, belum terlihat aktivitas pembangunan di lokasi tersebut.

Sama halnya dengan pembangunan Pasar Atum Mall yang tinggal penyelesaian akhir. Di dekatnya, ITC Mega Grosir Jalan Gembong baru dibuka. Simak pula pembangunan East Point di bekas Pasar Tambahrejo, Pusat Grosir Surabaya di Jl Dupak atau Mal Galaxy 2 di Jl Dharmahusada Indah Timur yang baru dibuka. Jangan lupa, lahan kosong luas berpagar seng di Jl Mayjen Sungkono, tepat di seberang Polsekta Persiapan Dukuh Pakis. Konon, itu tengah disiapkan untuk superblok yang terdiri dari mal, hotel, kafe, kantor, dan butik.

Ditambah dengan jumlah mal yang telah ada, total 26 mal telah dan akan bertebaran di ibu kota Provinsi Jawa Timur ini. Dalam kurun lima tahun terakhir, pertumbuhan mal melonjak drastis dibanding satu dekade sebelumnya. Dulu, tidak lebih dari lima mal yang dikenal masyarakat. Sebut saja Plasa Tunjungan, Plasa Surabaya (dahulu Delta Plasa), Galaxy Mal, Plasa Marina, dan Jembatan Merah Plasa. Sekarang malah kebalikannya. Bahkan, Surabaya kesannya telah dikepung mal dari delapan penjuru mata angin.

Hukum permintaan dan penawaran pun berlaku dalam kasus ini. Penawaran berlebih tentu membuat permintaan menurun. Ini juga yang dialami pengelola mal akhir-akhir ini.

“Banyak memang yang mengeluh kepada saya soal rendahnya okupansi. Saya tidak bisa menutupi fakta itu,” kata Didi Woelyadi Simson, Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Jatim, Selasa (13/2). Sedikitnya 19 mal di Surabaya bergabung dalam organisasi ini.

Bagi Kepala Laboratorium Perancangan Kota ITS Surabaya Dr Ing Haryo Sulistiarso, rendahnya okupansi ini karena beberapa sebab. Antara lain segmen konsumen yang dibidik sama, dan letak antar mal yang berdekatan. Haryo mengungkapkan, mayoritas mal membidik segmen konsumen sama yaitu masyarakat menengah-atas dengan menyediakan berbagai kebutuhan. Dari ujung rambut sampai ujung kaki. Mulai kebutuhan dasar sampai kebutuhan barang mewah.

“Padahal, hampir 80 persen masyarakat Surabaya tergolong menengah-bawah. Kelompok menengah-atas cuma 20 persen. Memang, dari luar mal kelihatan ramai, tapi sebetulnya omsetnya tidak ramai. Wajar saja karena banyak pengunjung hanya lihat-lihat daripada belanja,” jelasnya.

Apalagi tenant (penyewa stan) mal, tambah dia, orangnya itu-itu saja. Pada gilirannya, okupansi mal tak menggembirakan. Rata-rata hanya 60 persen dari total stan yang disewakan. Akibatnya, lanjut Haryo, muncul persaingan tidak sehat antar pengelola mal dengan banting-membanting harga sewa stan atau service charge.

“Kalau ini terjadi, yang rugi bukan hanya tenant dan pemilik mal. Warga dan pemkot juga rugi kalau sampai ada mal kosong karena sepi peminat,” tukasnya.

Namun, ia tak memungkiri jika ada sejumlah mal dengan tingkat okupansi baik karena dikelola dan dipasarkan dengan baik. Dicontohkannya Plasa Surabaya dan Pasar Atum yang okupansinya mencapai 100 persen. Bahkan, kedua mal ini sampai menolak tenant. Didi sendiri menilai letak antar mal yang berdekatan sebenarnya disengaja pengelola mal. Tujuannya jelas, menyaingi mal yang sudah lebih dulu ada. Didi berpendapat, ketika okupansi mal baru kalah dari mal lama yang berdekatan seharusnya disikapi sebagai konsekuensi logis dari sebuah persaingan bisnis.

“Idealnya memang tidak terlalu dekat tapi ini mungkin karena keterbatasan lahan,” tukasnya.

Kepala Dinas Tata Kota dan Permukiman Kota Surabaya Arief Darmansyah mengatakan, pembangunan mal telah disesuaikan dengan pemetaan pusat perbelanjaan di Surabaya. Ia meyakinkan bahwa pembagian lokasinya telah diatur sehingga tidak terpusat di satu tempat. Tujuannya, agar kemacetan tidak terpusat di tengah kota.

BG Junction, mal baru lainnya di Jl. Blauran. (Dok. skyscrapercity.com)
BG Junction, mal baru lainnya di Jl. Blauran. (Dok. skyscrapercity.com)

Harus Berbeda

Agar antar mal bisa bersaing sehat dan tidak saling membunuh, Haryo menyarankan agar tiap mal membidik segmen dan tenant yang berbeda. Kelompok menengah-bawah, menengah-atas atau atas sekalipun. “Di luar negeri, mal sudah dipilah-pilah sesuai segmen dan tenant-tenant-nya,” ujarnya.

Didi sependapat dengan Haryo. Menurut dia, pengelola mal memang harus menciptakan ciri khas masing-masing agar tenant dan pengunjung tertarik. Terutama untuk mal-mal baru. “Ini harus dilakukan kalau ingin tetap bertahan dan bersaing,” tandas Didi.

Ia lantas mencontohkan Hi Tech Mall yang menjadi mal komputer, WTC yang menjelma menjadi mal telepon seluler, serta mal barang-barang bermerk di Galaxy Mal.

“Saya sudah sarankan ini dalam pertemuan dengan anggota saya. Beberapa memang sudah memulai,” katanya.

Didi mengakui bahwa menemukan ciri khas sebuah mal memang tidak mudah dan membutuhkan waktu. Ia kembali mencontohkan Hi Tech Mall yang berproses beberapa tahun dari mal penyedia berbagai kebutuhan dengan nama Mal Surabaya sebelum akhirnya menemukan jati dirinya sebagai mal komputer.

“Ini penting untuk memecah konsumen,” tegasnya. (*)

Plasa Tunjungan, salah satu pionir mal di Surabaya. (Dok. skyscrapercity.com)
Plasa Tunjungan, salah satu pionir mal di Surabaya. (Dok. skyscrapercity.com)

Cukup Delapan Mal

Pembangunan mal yang marak saat ini bisa jadi bersifat parsial dan tidak tumbuh berdasarkan kebutuhan riil masyarakat Surabaya. Pasalnya, sampai sekarang, belum diketahui berapa kebutuhan riil masyarakat akan mal. Pemkot juga belum berinisiatif mengkaji hal ini.

Pakar perkotaan ITS Surabaya Dr Ing Haryo Sulistiarso punya rumusan untuk hal ini. Caranya, menghitung dulu jumlah kepala keluarga (KK) di Surabaya. Buku Surabaya Dalam Angka tahun 2004 lansiran Badan Pusat Statistik Kota Surabaya mencatat ada 709.991 rumah tangga atau KK yang setara dengan 2.599.796 jiwa.

Dari jumlah itu, sebanyak 420.000 di antaranya adalah pasar potensial. Namun, hanya 80.000 KK (20 persen) dari pasar potensial ini yang benar-benar memiliki kemampuan membeli. Ia menambahkan, kebutuhan ruang mal tiap KK keluarga (KK) sekitar 10 meter persegi (m2). Jika dikalikan dengan 80.000 KK tadi maka kebutuhan ruang mal mencapai 800.000 m2.

“Anggap saja luas satu mal sekitar 100.000 m2 maka ini setara dengan delapan mal,” ujarnya.

Menurut dia, delapan mal inilah kebutuhan Surabaya. Di pusat kota bisa dibangun satu sampai dua mal untuk segmen menengah-atas sedang sisanya menyebar di pinggiran kota bagian utara, selatan, timur dan barat untuk membidik segmen menengah-bawah. Saat ini, ada 26 jumlah mal yang telah, sedang, dan akan dibangun.

Haryo menuturkan, jika 26 mal ini terbangun semua dengan luas rata-rata tiap mal 100.000 m2 maka ada 2.600.000 m2 lahan mal.

“Ini potensial membuat pasar jenuh. Selama pertumbuhan ekonomi masih stagnan, akan banyak mal yang sepi dari penyewa,” tukasnya.

Ia mengungkapkan, kawasan Surabaya Barat sebetulnya masih lowong dari mal untuk masyarakat menengah-bawah. Menurut dia, dua mal besar di kawasan itu yaitu Supermal Pakuwon Indah (SPI) dan Pakuwon Trade Center (PTC) lebih menyasar segmen menengah-atas. Hal yang telah terjadi di kawasan Surabaya Pusat, Timur, dan Selatan.

Ketua Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Asosiasi Pengelola Pusat Belanja Indonesia (APPBI) Jatim Didi Woelyadi Simson menyatakan, sudah saatnya pemkot membatasi pembangunan mal dan menyesuaikan dengan zona wilayah yang ditetapkan.

Bahkan, Didi telah menyarankan sejumlah investor yang akan membuka mal di Surabaya untuk membatalkan niatnya.

“Karena itu sama saja dengan menggali lubang kubur sendiri. Kalau nekat, siap-siap saja masuk killing ground (ladang pembantaian),” ujarnya serius.

Ia menghimbau pengusaha mal yang hendak berinvestasi di Surabaya melirik bidang lain yang lebih prospektif. Pemkot memang tidak bisa lagi semata-mata mendasarkan kepentingan bisnis saat memberi ijin pendirian mal. Kebijakan yang menguntungkan segelintir pengusaha tetapi mengorbankan pengusaha lainnya sebagai penyewa lahan harus diakhiri. (15 Feb 2007)

14 responses to this post.

  1. tambah banyak tambah murah 😀

  2. anda betul tapi sekalian tambah ruwet karena tidak mempertimbangkan tata ruang.

  3. Posted by ian suro on Maret 5, 2010 at 7:09 am

    menurut saya warga surabaya tidak membutuhkan banyak mall…
    yang dibutuhkan semua warga di Indonesia adalahlahan terbuka hijau, hal ini terbukti saat libur panjang sema berbondong-bondong untuk rekreasi ke daerah yang masih alami seperti batu atau bogor…apabila dilihat dari dimana masyarakat membeli, sebagian besar malah mereka menuju DTC, ps.wonokromo, ps. atum atau ps.turi yang lebih murah dan ckup berkualitas…memang benar apabila mall merupakan sarana untuk masyarakat menengah ke atas…tapi apakah masyarakat surabaya sebagian besar masyarakat adalah menengah ke atas??hingga pemerintah me-legakan 26 mall…
    keberpihakan pemerintah masih dominan pada swasta…hingga membolehkan membangun mall dekat dengan instansi pendidikan sekalipun…
    ini mengindikasikan bahwa ada ekonomi politik dari pemkot surabaya dalam masalah pembangunan…
    disini saya salahsatu orang yang sangat prihatin dengan fenomena ini… mall yang dekat dengan instansi pendidikan malah disalah gunakan oleh para pelajar…

  4. mas ian betul sekali. pemkot surabaya terus memberi ijin pendirian mal tanpa melihat rencana tata ruang wilayah yang telah ditetapkan. deretan akibatnya akan panjang sekali. sekarang yang bisa dilakukan adalah terus mendesak pemkot untuk tidak lagi mengijinkan pendirian mal-mal baru atau sejenisnya. yang ada saja sudah cukup menyesakkan.

  5. Posted by caraka on Agustus 26, 2010 at 11:14 am

    surabaya penuh dengan mall.perhatian terhadap ruang kota masih kurang,pemerintah masih tunduk terhadap investor yang pandai.
    namun tidak bisa dipungkiri untuk membuat hidup sebuah ruang kota yang sepi dan dikatakan mati,mall(bangunan publik) sebagai salah satu solusi
    sekarang permasalahannya adalh bagaimana sebuah desain public building ini menyatu dengan ruang kota yang sudah disediakan sehingga tidak timbul berbagai permasalahan dan kesenjangan.

  6. Posted by Ismail on Oktober 9, 2010 at 1:56 am

    Wajar2 saja asal pembangunan mall disesuaikan dengan pangsa pasar.
    Ingat! Surabaya mulai dikejar Medan dan Makassar yang pembangunannya sangat pesat.
    Medan akan punya bandara terbesar kedua setelah Bandara Soekarno Hatta. Bandara Juanda apa kabar?
    Makassar jg dipenuhi proyek2 prestisius, Center Point of Indonesia, Mall bawah tanah di Karebosi, trans studio dll.
    Jgn sampai status kota terbesar kedua direbut 2 kota tersebut!

  7. bung ismail yang baik, menurut Jaime Lerner,Wali Kota Curitiba tiga periode yang berhasil membawa Curitiba menjadi kota paling inovatif di dunia, perkembangan sebuah kota tidak bisa hanya dilihat dari pertumbuhan ekonomi dan kemajuan fisik belaka. Kota masa depan yang berkualitas terkait erat dengan rekonsiliasi antara manusia dengan lingkungannya. Karena kota pada hakikatnya adalah sebuah karya seni sosial. Sebab, setiap kota sesungguhnya terbentuk secara organik dengan penampilan yang berbeda-beda. Hasil ciptaan masyarakat, pemerintah dan swasta. Ketiganya bergerak dengan prinsip kemitraan profesional. Warga kota sangat mendambakan kota yang manusiawi, menyejahterakan dan membahagiakan seluruh lapisan masyarakat.
    bagi saya, surabaya tidak butuh mempertahankan diri menjadi kota dua terbesar di nusantara dengan kemajuan fisik belaka namun melahirkan dampak sosial berkepanjangan. jadi, tak apa jika kelak surabaya tergeser dari peringkat nomor dua oleh kota lain yang sedang dihujani proyek prestisius. sebab, bukan dari banyaknya bangunan megah yang menjadi dasar eksistensi kota surabaya. yang penting bagi surabaya sekarang adalah belajar dari kesalahan-kesalahan yang terjadi dan disesali masyarakat kota-kota besar di negara maju. Seperti dituturkan Guru Besar Universitas Diponegoro Eko Budiharjo, Chicago telah dikecam sebagai Sickago atau kota yang sakit. Frankfurt pun diberi nama Krankfurt, juga kota yang sakit. Indianapolis dilecehkan menjadi India-no-place.
    kalau surabaya tak mau belajar dari kasus-kasus di negara maju itu, maka surabaya yang bercita-cita menjadi city of tomorrow hanya akan menjadi city of sorrow alias kota kesedihan.

    soal bandara juanda, kebetulan sejak 15 Nopember 2006, telah dipindah ke lokasi baru yang lebih luas dengan fasilitas lebih canggih dan modern untuk meningkatkan kapasitas layanannya. cobalah sesekali fasilitas di bandara baru itu kalau sedang ke surabaya. oya, terima kasih atas perhatiannya pada bandara juanda.

    salam.

  8. thanks infonya. salam kenal ya om. kapan sempat mampir la ke blog ak : http://www.vchika.co.cc
    di tunggu ya, trims.

  9. you’re welcome chika. salam kenal juga. senang sekali chika sudi main ke blog saya. oya, saya sudah mampir ke blog chika, bagus tuh. lanjutkan dengan tulisan bermanfaat lainnya. semangat!

  10. Posted by anang rubyanto asnar on April 6, 2011 at 8:58 pm

    pak saya mau tanya ini semua sumbernya dari mana ya ?, pak Haryo berbicara kapan dan dimana ? saya saat ini tengah meneliti mal di surabaya juga terimakasih

  11. Posted by anang rubyanto asnar on April 8, 2011 at 9:11 pm

    pak kalau boleh tahu tulisan bapak sumbernya dari mana, misalkan pada kesempatan apa PAK HARYO SULISTIYARSO memberikan pendapat2 nya ttg Mall tersebut, saat ini saya juga tengah akan menelitit ttg pertumbuhan mall di Surabaya, terima kasih dan salam kenal

  12. pak anang, sumber dalam tulisan ini berasal dari data sekunder serta data primer dari narasumber-narasumber yang kami wawancarai terpisah sewaktu saya masih jadi jurnalis di harian tersebut, termasuk juga pak haryo.

  13. tulisan yg baguus dan inspiratif.

  14. info yang sangat menarik, sepertinya harus dicoba 🙂 , Affleck

Tinggalkan komentar